Sunday, December 10, 2006

Aroma Pop Rock Rhoma Irama


Aroma Pop Rock Rhoma Irama

MUSIK pop dan rock ternyata adalah langkah pertama Rhoma Irama sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan Benny Mucharam, abang kandungnya, bahwa Oma (sebelum menjadi Rhoma) sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967. Meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes Melayu.

RHOMA yang pandai bermain gitar dan bersuara merdu sangat disukai kawan-kawannya jika dia menyanyi di bawah pohon pinggir Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Di samping menjadi penyanyi Orkes Melayu Chandraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Bersama band-band itu dia membawakan lagu-lagu pop Barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu Diana atau Put Your Head on My Shoulder, Andy Williams (Butterfly, Moon River), serta Tom Jones (Green Green Grass of Home, Delilah).

Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya dia membentuk Band Gayhand. Musik kelihatannya sudah menjadi pilihannya hingga kuliah di Universitas 17 Agustus tidak diteruskannya. Musik rock n’ roll yang melanda Indonesia waktu itu membuat pemuda kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, ini terpesona hingga dalam hatinya dia bertekad, "Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa".

Namun, begitu berada di dalam industri musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru cara menyanyi Ida Royani-Benyamin S atau Titiek Shandora dan Muchsin yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaja dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.

Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Oma-Inneke direkam dalam sejumlah lagu, seperti Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu Kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat Dekat, Anaknja Lima, Si Oteh, Lontjeng Berbunji, Melati di Musim Kemarau, dan Tjinta Buta.
Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknja Lima, dibawakan duet ini, munculnya pasangan Oma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Titiek Shandora dan Muchsin. Kebiasaan Rhoma meniru suara sejumlah penyanyi Barat membuatnya dengan mudah meniru gaya menyanyi Muchsin dan Benyamin.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, Zakaria kemudian menyarankan Oma juga berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura tahun 1971. Oma-Wiwiek berhasil menjadi juara.

Penyanyi-penyanyi duet memang sedang menjadi mode industri musik awal tahun 1970-an. Dalam acara Panggung Gembira Hari Radio Ke-26 di halaman Gedung RRI, Medan Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Oma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi duet lainnya, seperti Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez, dan Ida Royani-Benyamin S.

Duet Oma-Inneke juga diiringi Band Galaxy pimpinan Jopie Item dalam rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Oma menyanyi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskan Oma setelah mendirikan Soneta, misalnya, dalam lagu Mari Gembira meniru seruan yang biasa dilakukan penyanyi rock di luar syair lagu, "Ach … uh… wuuuuuaaaaw... mari kawan kita gembira, jangan pikir hati yang duka, yang membawa bencana bila kau pikirkan juga, baik dengarkan aku bernyanyi demi mengobati rasa hati…".

PERGAULAN Rhoma dengan pemusik pop dan rock juga yang mempertemukannya dengan pemimpin band perempuan Beach Girls, Veronica Agustina Timbuleng. Duet Rhoma dan Veronica yang dimulai tahun 1972 menghasilkan tiga anak, yaitu Debbie Veramasari (33), Fikri Zulfikar (29), dan Romy Syahrial (28).

Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie, mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli dan Yoan dengan Si Kodok pada tahun 1976.

Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta, Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dan menyuntikkan musik rock dalam album dangdutnya yang pertama berjudul Begadang, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulutkan pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.
Ujung-ujungnya diadakan diskusi "Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut" di Gedung Merdeka Bandung akhir Juni 1976 dengan Maman S dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara dan menghadirkan pembicara Dr Sudjoko dari ITB, Remy Sylado, Benny Subarja, dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma Irama yang tidak hadir. Achmad Albar dan Harry Roesli yang diundang juga tidak kelihatan.

Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado.

Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, 22 Desember 1977, dengan maksud melihat yang mana lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan burung dara putih sebagai tanda perdamaian.

Bercampurnya musik rock dengan berbagai jenis musik sebenarnya hal biasa, sebagaimana terjadi dengan jazz, musik klasik, atau bahkan lagu-lagu rohani Kristiani.

Menurut Krishna Sen dan Davil T Hill dalam bukunya Media, Budaya dan Politik di Indonesia yang terbit tahun 2000, "Sesungguhnya, popularitasnya yang bertahan sebagian disebabkan karena karakter hibrydnya (mudah dicangkokkan ke jenis musik apa pun). Dengan sifat ini dangdut terus-menerus menggabungkan dan melakukan sintesa dengan genre musik lain, termasuk yang mungkin menjadi pesaing di berbagai golongan pasar Indonesia. Banyak bentuk musik populer daerah telah menelurkan berbagai varian dangdut seperti ’dangdut Sunda’ dan ’dangdut Jawa’. Demikian juga genre musik impor. Pada tahun 1980-an ada ’disko dangdut’. Tahun 1996, album Remix Dangdut House Mania sedang ngetop, saat dangdut menyesuaikan diri ke jenis musik internasional yang sedang trendi, yaitu house music".

Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora itu juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi, album-album rekamannya yang semakin ngerock mengalir tanpa dapat dibendung, bahkan oleh Pemerintah Orde Baru yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya, TVRI.

Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang, setelah Begadang menjadi sangat populer, menyusul Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azazi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini kemudian menjadi Soneta Records, milik Rhoma.
Dengan keberhasilan Rhoma itu, tidak salah apa yang dikatakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media-Extensions of Man, "The hybrid or the meeting of two media is a moment of truth and revelation from which new form is born". (Hibrida atau pertemuan dua media adalah masa yang menentukan dan menginspirasi lahirnya sebuah bentuk baru).
LANGKAH Rhoma semakin tegap. Film-filmnya Oma Irama Penasaran (1976), Gitar Tua Oma Irama (1977), Darah Muda (1977), Rhoma Irama Berkelana I (1978), Rhoma Irama Berkelana II (1978), Begadang (1978), Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), Perjuangan dan Doa (1980), Melody Cinta Rhoma Irama (1980), Badai Diawal Bahagia (1981), Satria Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984), Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu (1987), Bunga Desa (1988), JakaSwara (1990), Nada dan Dakwah (1991), serta Takbir Biru (1994) diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis.

Dalam Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap, yang bersama grup rock AKA-nya pernah bertarung dengan Soneta di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.

"Secara terus terang saya mau katakan bahwa Oma Irama adalah seorang seniman musik yang menarik. Coba saja kita perhatikan, bagaimana dia membangun musik dangdut dengan warna lain daripada yang lain. Dia berani melangkah untuk mencari variasi dan pembaruan dalam musiknya," kata Ucok ketika saling membagi nasi tumpeng dengan Rhoma dalam acara selamatan dimulainya produksi film itu akhir November 1977.

Film-filmnya Rhoma tidak salah jika dikatakan sebagai film musik rock bernapas Islam yang pertama di dunia. Terutama Perjuangan dan Doa, yang mengisahkan perjalanan Rhoma dan Orkes Melayu Sonetanya ke berbagai daerah sambil berdakwah. Tujuh lagu yang dalam film ini semakin meyakinkan Rhoma bahwa dengan dangdut-rocknya, dia juga bisa menjalankan misi agama.

Meskipun, lagi-lagi, Rhoma diterpa berbagai komentar yang tidak setuju dengan langkahnya, seperti yang diberitakan harian Terbit, 16 Juli 1980, "Yang berpendapat misi dakwah melalui musik dan film seperti yang telah ditampilkan H Rhoma Irama sebagai tindakan yang tidak terpuji, karena masyarakat menilai Rhoma lebih condong pada komersialisme disamping penampilan Rhoma tidak ubahnya seperti Elvis Presley, seniman penyanyi barat".

Elvis memang menjadi King of Rock ’n Roll dan Rhoma yang merespons musik rock dengan baik menjadi Raja Dangdut dengan penyanyi-penyanyi dangdut lain sebagai hulubalangnya. (Tulisan ini adalah bagian salah satu bab buku Dangdut Indonesia yang sedang saya susun)
THEODORE KS Penulis Masalah Industri Musik

0 Comments:

Post a Comment

<< Home